Cak Nun: Indonesia (Kehilangan) Pusaka

Kedua, di antara Bapak Ibu bangsa Indonesia yang Jawa memberi pesan tentang “Sandang Pangan Papan”, “Keris Pedang Cangkul”, “Gundul Pacul”, “Kawula Gusti”, dlsb. Pasti banyak sekali juga pesan-pesan dari nenek moyang Yang Sunda, Yang Minang, Yang Bugis, Yang Batak, Yang Sasak, Yang Madura dan ratusan lainnya — yang setelah merdeka semua itu kita sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita lupakan. Itu menyebabkan sekarang kita tidak lagi punya “pusaka”, dalam dimensi

kejiwaan bangsa maupun dalam penerapan tata sistem, konstitusi dan hukum pengelolaan kebersamaannya.
Sandang Pangan Papan tidak bisa dibalik. Lebih baik tidak makan asal tetap berpakaian. Bukan program makan melimpah dan tak apa telanjang karena pakaiannya dijual, karena martabat dan harga diri digadaikan. Manusia dipinjami hak milik oleh Tuhan: nyawa, martabat dan harta benda. Negara dan Pemerintah bertugas menjaga nyawa, martabat dan harta benda rakyatnya. Orang korupsi tidak terutama kita sesali hilang hartanya, tetapi kita prihatini kehancuran martabat hidup koruptornya. Demikian juga setiap langkah Negara dan Pemerintah: skala prioritasnya adalah nyawa, kemudianmartabat, lantas harta benda.

Keris Pedang Cangkul sangat jelas. Rakyat pegang cangkul mencari penghidupan. Pemerintah pegang pedang untuk menjaga keamanan sawah yang dicangkul oleh rakyat. Pejabat tidak boleh menggunakan pedang untuk mencangkul. Pejabat dan pegawai bukan profesi, bukan alat mencari nafkah, sebab penghidupan mereka dijamin oleh Negara. Sementara Negara adalah keris, adalah Pusaka, ia perbawa, aura, hati nurani, ia “kasepuhan”, ia seperti Bapak Sepuh yang kita cium tangan dan lututnya. Karena beliau sudah merdeka dari nafsu terhadap harta benda dan keduniaan. Itu yang bangsa Indonesia sekarang tidak punya dan tidak sadar untuk merasa perlu punya.

Gundul Pacul, anak-anak hapal sampai sekarang. Pemerintah bertugas “nyunggi wakul”, memanggul bakul kesejahteraan rakyat, isinya harus disampaikan ke rakyat. Jangan sambil jelan ke rumah rakyat diambili sendiri isi bakul itu. Apalagi sampai menjual bakul-bakul ke tetangga. Negara mengontrol dan siap menghukum mereka. Tapi Bangsa Indonesia sedang tidak punya Negara kecuali hanya namanya, yang berdiri di depan hanya Pemerintah.

Itupun tidak terdapat tanda bahwa prinsip Ki Hadjar Dewantara, pahlawanan nasional dan Bapak Pendidikan Nasional, dilaksanakan. Kita semakin tidak belajar kepada beliau. Karir adalah “ing ngarsa sung tulada”, berdiri paling depan untuk member teladan. Kemudian meningkat “ing madya mangun karsa”, menyatu dengan rakyat saling dukung mendukung dan menyebar motivasi. Puncak karier adalah “tut wuri handayani”. Orang besar bangsa Indonesia adalah yang berani dan ikhlas berada di barisan paling belakang, mendorong rakyat untuk terus maju dan berjuang.

Kerajaan dan Sebab Akibat

Yang di awal tulisan ini saya sebut sebagai “puncak eskalasi pertengkaran” adalah jika Pemerintah, yang bertindak atas nama Negara, menerapkan “ing ngarsa sung kuwasa”: berdiri paling depan dengan kekuasaan untuk menguasai, dan dengan kekuatan untuk mengalahkan.

Kawula Gusti. Posisi manusia itu “ngawula” atau menghamba. Maka Sila-1 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba ke Tuhan. Dalam peradaban Kerajaan, Raja diverifikasi, dikwalifikasi kemudian dipercaya sebagai representasi dari Tuhan. Maka kawula, rakyat, menghamba kepada Raja, sebagai jalan menghamba kepada Tuhan.

Rakyat bisa salah identifikasi, sejarah berisi Firaun sangat banyak. Tetapi tidak bisa lenyap naluri menghamba pada manusia. Ketika masuk era modern kita bilang “mengabdi kepada Negara, Bangsa dan Agama”. Tiga level itu adalah eskalasi menuju penghambaan kepada Tuhan. Rakyat kecil, kaum terpelajar, semua orang-orang hebat, berlomba-lomba menghamba kepada Tuhan melalui jabatan Staf Khusus atau Staf Ahli Presiden atau Menteri, jadi Komisaris BUMN, atau minimal dapat dana untuk proyek penghambaan kepada Tuhan.

NKRI adalah Negara dengan sejumlah fakta kejiwaan dan perilaku Kerajaan. PDIP tetap disinggasanai dan diotoritasi langkah-langkahnya oleh Ratu Mega putri Raja Besar Bung Karno, berikut akan ke cucu beliau. Demokrat akan mencagubkan atau tidak keputusannya di tangan Raja SBY. Demikian juga tipologi perilaku pada Kerajaan-kerajaan lainnya, termasuk mobilisasi dan pencitraan yang berpangkal pada identifikasi “Satria Piningit”, atau juga rintisan Kerajaan Hary Tanoe.

Bangsa Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui Raja atau Presiden siapa — bisa keliru, itu persoalan lain. Dan ini bukanlah soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi jelas ada yang perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani Bangsa Indonesia.

Kita membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali “cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang dan resolusi pandang, bahkan kearifan pandang”:  terhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware maupun software-nya. Bhinneka harus kita tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara Bhinneka.

Enam ragam pandang di atas berada dalam spektrum sebab pandang dan akibat pandang. Pemerintah merasa traumatik terhadap Islam adalah akibat yang ada sebabnya, terutama dari dunia global. Sikap keras 212 adalah akibat dari sebabnya. HRS, misalnya, bukan Iblis, Jkw atau TK, pun bukan Tuhan. Masing-masing manusia. Semua warga Bhinneka tidak bisa menunda iktikad baik dan kebijaksanaan untuk saling mempelajari sebab akibat dari seluruh yang dialaminya. Tidak bisa masing-masing egois merasa “kamilah Bhinneka Tunggal Ika, yang itu Kaum Intoleran”.

Sila-5 belum kunjung tercapai, ada sebabnya, dan harus dicari di Sila-4: Pemerintahan dan Perwakilan yang kehilangan aspirasi dan rumusan Permusyawaratan. Mesin Sila-4 tidak memproduksi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mungkin juga akibat dari Sila-3 yang “bikin mesin pemerintahan” Sila-4. Parpol-parpol, Ormas-ormas dan ketokohan-ketokohan nasional mungkin tidak berdiri, berpikir, bersikap dan bertindak NKRI, melainkan menitik-beratkan pada kepentingan diri dan golongannya masing-masing.
Jangan-jangan ini akibar dari sebab yang terletak pada Sila-2: pendidikan pemberadaban manusia Indonesia. Ada tumpukan masalah dan pertanyaan yang sangat serius terhadap dunia kependidikan nasional. Mungkin salah pijakan, salah niat, misalnya bahwa dunia kependidikan bukanlah urusan profesi di mana pelaku-pelakunya mencari nafkah penghidupan. Sebagaimana Pegawai bukanlah profesi, karena nafkahnya dijamin oleh Negara. Sekolah bukan perniagaan, Universitas bukan perusahaan. Sebagaimana juga perlu diarifi kembali bahwa kapitalisme jangan sampai menjadi titik berat pelaksanaan wilayah Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Agama.

Kalau Sila-5 tak tercapai karena kegagalan Sila-4, Sila-4 tidak produktif karena salah pilih oleh Sila-3, kalau Sila-3 bukan Persatuan Indonesia melainkan sumber perpecahan karena disorientasi Sila-2 – mungkin sekali sebab mendasarnya adalah karena seluruh petugas sejarah Bangsa Indonesia ini memang tidak serius dengan Sila-1. Mungkin benar parodi “Keuangan Yang Maha Esa”. Mungkin tak terhitung jumlah penistaan kita semua terhadap Pancasila, Agama dan Tuhan.

Muhammad Ainun Najib

*Sumber: https://www.caknun.com/2017/bangsa-yatim-piatu/

Comments

Popular posts from this blog

Kata Mutiara Hikmah Kyai Sepuh NU Part.3

Lirik dan Makna Syair Lir-Ilir, Sunan Giri dan Sunan Kalijaga

Kata Mutiara Hikmah Kyai Sepuh Nahdhatul 'Ulama part. 1