Gus Mus: KEKELOMPOKAN JAHILIAH
Seperti diketahui, sebelum kedatangan Islam, khususnya
masyarakat Arab sangat terkenal dengan budaya pengelompokan kabilah, klan, suku
dengan tingkat fanatisme yang luar biasa. Masing-masing mereka tidak hanya suka
membanggakan kelompok sendiri, tetapi sering kali sambil merendahkan kelompok
yang lain. Sedemikian fanatiknya masing-masing mereka terhadap kelompok
sendiri, seolah-olah mereka punya ‘akidah’; Kelompok sendiri selalu benar
dan harus dibela mati-matian sampai mati. Inilah yang disebut ‘ashabiyah.
Terjadinya banyak peperangan dan pertumpahan darah diantara mereka, umumnya
diakibatkan oleh ‘ashabiyah atau fanatisme kelompok ini.
Persoalan sepele bisa menjadi api penyulut peperangan besar
apabila itu menyangkut kehormatan atau kepentingan kelompok. Pertengkaran pribadi
antar kelompok dapat dengan cepat membakar emosi seluruh anggota masing-masing kelompok
oleh apa yang disebut kecam Nabi Muhammad s.a.w. dengan Da’wa ‘l-jahiliyyah, masing-masing
pihak yang bertengkar memangggil-manggil meminta bantuan kelompoknya.
Pertengkaran pribadi pun menajdi peperangan antar kelompok.
Itulah salah satu “kegelapan” Jahiliah yang diperjuangkan
Rasululllah s.a.w. untuk dikuakkan oleh cahaya Islam.
Nabi Muhammad s.a.w., Nabi Kasih Sayang yang membawa agama
kasih sayang, memperkenalkan kehidupan kemanusiaan yang mulia. Nabi
mengingatkan bahwa seluruh manusia berasal dari bapak yang satu, yaitu Adam. Taka
da seorang atau sekelompok pun manusia yang lebih mulia dari orang lain. Orang
Arab tidak lebih mulia dari orang non-Arab. Kulit putih tidak lebih mulia dari
kulit hitam. Yang termulia diantara mereka di hadapan Allah adalah yang paling
takwa kepada-Nya.
Mereka yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad utusan Allah berarti dia telah masuk Islam dan disebut Muslim.
Muslim satu dengan yang lain --menurut Nabi Muhammad s.a.w-- bersaudara; tidak
boleh saling menghina, tidak boleh saling menjengkelkan, tidak boleh saling
melukai. Masing-masing harus menjaga nyawa, kehormatan, dan harta saudaranya.
Muslim satu dengan yang lain ibarat satu tubuh atau satu bangunan.
Demikianlah, panutan agung semua orang yang mengaku muslim,
Nabi Muhammad s.a.w., mempersaudarakan umat Islam di Madinah antara mereka yang
berasal dari suku-suku asli Madinah (kelompok Ansor dari Khazraj dan Aus) dan
para pendatang dari Mekkah (kelompok Muhajirin dari berbagai suku) dan
mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Madinah yang nonmuslim. Dengan
demikian, kedegilan ‘ashabiyah Jahiliyah yang selama ini berakar kuat
pun sirna, digantikan oleh kearifan akal budi kemanusiaan yang mulia.
Memang adakalanya penyakit ‘ashabiyah itu nyaris
muncul lagi, tetapi kebijaksanaan
Rasulullah s.a.w. segera menangkalnya sejak gejalanya yang paling dini, seperti
peristiwa yang terjadi setelah Perang Bani Musthaliq pada tahun kelima hijrah.
Waktu itu, seorang buruh yang bekerja pada Sahabat Umar Ibn Khattab (dari
Muhajirin) berkelahi dan memukul seorang sobat suku Khazraj. Orang ini pun
berteriak memanggil-manggil dan meminta bantuan kelompok Khazraj, sementara si
buruh pun berteriak-teriak meminta bantuan kaum Muhajirin. Hampir saja terjadi
tawuran antara kedua kelompok itu. Untung Rasulullah segera keluar. Sabdanya, “Maa
baalu da’waa ‘l-Jahiliyah?’’ (“Lho, mengapa ada seruan model jahiliah?”).
Ketika diberi tahu duduk perkaranya, Rasulullah s.a.w pun bersabda. “Tinggalkan
perilaku jahiliyah itu! Itu busuk baunya!” Rasulullah meleraikan mereka dengan
adil. Malapetaka pun terhindarkan.
Fanatisme, terutama dalam pengertiannya yang ekstrem, sering
menghilangkan penalaran sehat sebab memang emosi yang lebih berkuasa. Puncaknya
–apabila emosi sudah sangat menguasai—orang yang bersangkutan pun tidak mampu
lagi melihat dan mendengar, shummum bukmun ‘umyun. Itulah barangkali
sebabnya, orang yang terlalu fanatik terhadap kelompoknya tidak bisa objektif
dan cederung tidak bisa diajak bicara oleh kelompok yang lain.
Di negeri kita yang bukan Arab, khususnya di zaman pasca
orde baru ini, penyakit semacam ‘ashabiyah Jahiliyah itu rupanya juga
mulai mewabah. Bukan kelompok suku dan agama saja yang difanatiki berlebihan,
bahkan kelompok politik pun sudah cenderung difanatiki melebihi agama. Lebih
celaka lagi – agaknya karena pemahaman soal politik dan demokrasi yang masih
cingkrang di satu pihak, dan pemahaman atau penghayatan agama yang dangkal di
lain pihak – fanatisme kelompok politik ini membawa-bawa agama. Maka
campur-aduklah antara kepentingan agama, kepentingan politik dan nafsu. Tidak
jelas lagi apakah kepentingan politik mendukung agama; atau agama mendukung
kepentingan politik; ataukah justru politik dan agama mendukung nafsu. Bahkan
banyak mubalig atau da’i – yang seharusnya meneruskan missi kasih sayang
Rasulullah s.a.w. – entah sadar atau tidak, justru lebih mirip jurkam atau
malah provokator yang tidak merasa risi mengeluarkan kata-kata kotor yang
sangat dibenci oleh Nabi mereka sendiri.
Itu semua ditambah kita ini sejak zaman kerajaan, zaman
penjajahan zaman Orla, hingga zaman Orba, tidak dididik untuk dapat berbeda,
sebagai pelajaran awal berdemokrasi. Malah didikan yang kita terima terus
menerus adalah keharusan seragam. Akibatnya, ketika ‘eoforia demokrasi’ marak
mengiringi tumbangnya rezim Soeharto yang otoriter, orang hanya berfikir
mendirikan partai tanpa sempat memikirkan kaitannya partai dengan kehidupan
berdemokrasi yang menunut sikap menghargai perbedaan. ‘Ashabiyah Jahiliah
pun menemukan bentuknya yang lebih busuk, bahkan di kalangan kaum beragama,
Kalau ini tidak cepat disadari, khususnya oleh para
pemimpin, umumnya para pendukung kelompok atau partai minimal mereka yang masih
mengakui Allah sebagai Tuhan merekadan Sayidina Muhammad s.a.w. sebagai
Nabi dan pemimpin agung mereka, saya hawatir memang azablah yang sedang menimpa
kita. Dan, azab itu hanya Allah yang maha kuasa menimpakan dan
menghilangkannya. “Qul Hual Qoodiru ‘alaa ‘an yab’atsa ‘alaikum ‘azaaban…”
(Q.S. 6:65), “Katakanlah (Muhammad,) `Dialah
yang berkuasa mengirimkan azab dari atas kalian atau dari bawah kalian, atau
Dia mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok (fanantik yang saling
bertentangan) dan mencicipkan kepada sebahagian kalian keganasan sebahagian
yang lain…”
Mudah-mudahan Allah memberi hidayah kepada kita semua untuk
kembali ke jalan-Nya yang lurus, mengikuti jejak rasul-Nya yang berbudi dan
mulia. Amin.
*Sumber: http://gusmus.net/mata-air/kekelompokan-jahiliah
Comments
Post a Comment