Gus Nadir: Kisah Berikutnya Kiai Tua dan Kiai Muda (3): Jamuan Ilahi
Setelah menghangatkan tubuh di api unggun, kedua Kiai ini tertudur.
Bangun esok paginya, Kiai Muda berkata: “lapar sekali perutku, pak yai”.
Kiai Tua menjawab, “sisa bekal makanan sudah habis semalam. Kalau
begitu kita niatkan puasa sunnah saja hari ini.” Kiai Muda setuju.
Mereka berdua kembali berjalan melewati bukit dan menyeberangi
sungai. Kali ini tak ada gadis ayu yang meminta digendong meski Kiai
Muda sudah celingukan menoleh kesana-kemari. Kiai Tua tersenyum melihat
tingkah polah kawan seperjalanannya ini.
Mereka terus berjalan hingga mentari tepat di atas kepala mereka.
Letih dan lapar. Mereka memasuki perkampungan. Ternyata sedang ada
hajatan. Salah satu penduduk memotong dua kambing untuk acara akikah
bayi lelakinya. Semua bergembira dan memenuhi halaman rumah orang itu.
Kedua Kiai kita melintasi rumah itu. Tuan rumah tiba-tiba berseru “wahai
kedua musafir yang terhormat, hendak kemana kalian? mari ke sini
berkahi keluarga kami dengan kehadiran dan doa-doa kalian”
Kiai Tua mengangguk dan memasuki halaman rumah yang punya hajat
disambut dengan gembira oleh para tamu lainnya. Setelah proses akikah
selesai, tuan rumah dengan tangannya sendiri menyiapkan dua piring
sajian dengan gulai kambing kepada kedua musafir ini. “Doakan keluarga
kami,” pintanya. Kiai Tua mengangkat tangannya berdoa. Mendadak semua
orang diam tak bersuara. Semua khusyuk menunduk dan mengaminkan
kata-kata Kiai Tua.
Selepas itu tuan rumah menyodorkan kedua piring itu kepada kedua
Kiai. Kiai Muda bingung apa yang harus dilakukan: bukankah mereka tengah
berpuasa?
Kiai Tua tanpa pikir panjang menyambut piring itu dan mulailah ia
memakannya. Kiai Muda merah padam mukanya. Ia berbisik, “pak yai,
bukankah kita sedang berpuasa? mengapa mudah sekali pak yai mengikuti
godaan ini? untuk apa dari tadi kita tahan lapar dan dahaga diperjalanan
kalau sekarang kita gadaikan komitmen kita hanya karena dijamu seperti
ini. Pak yai, jawablah….jangan diam saja. Pak Yai yang menyarankan kita
berpuasa, kok pak yai sendiri yang malah meninggalkan puasa ini!”
Tuan rumah bingung melihat Kiai Muda tak menyentuh makanannya. Kiai
Muda bangkit dari duduknya dan mengucapkan: “assalamu alaikum, maaf
hadirin dan hadirat semua. Saya ini sedang berpuasa. Saya minta tolong
kalian menghormati saya.” Untuk kedua kalinya tuan rumah dan tamu
mendadak terdiam. Kalau kali pertama mereka terdiam karena khusyuk
berdoa, maka kali ini mereka terdiam karena tidak nyaman dengan kalimat
yang diucapkan Kiai Muda.
Kiai Tua menepuk pundak Kiai Muda, “duduklah. Kalau kau katakan kita
sedang berpuasa, maka kita bisa jatuh pada ujub, dan ucapan itu juga
menyakiti tuan rumah. Mereka sudah sangat menghormati kita. Itu sebabnya
aku balas penghormatan mereka dengan menikmati sajian yang mereka
hidangkan. Ini bukan godaan tapi jamuan ilahi. Makanlah. Membalas
penghormatan orang lain itu wajib, sementara puasa kita cuma sunnah.
Dahulukan perkara wajib ketimbang sunnah; dan dahulukan membahagiakan
orang lain ketimbang memuaskan ego mu dalam beribadah. Besok, kalau kau
mau, bisa kau mulai puasa sunnahmu lagi, tapi hari ini satu penduduk
kampung sedang bergembira. Bergabunglah bersama amalan jamaah ketimbang
ngotot pada amalan sunnah individu.”
Kiai Tua melanjutkan makan. Tuan rumah pun kembali melayani para
tamu. Sementara itu, Kiai Muda masih berusaha mencerna kata-kata Kiai
Tua.
Bersambung….bi idznillah…
Tabik,
KH Nadirsyah Hosen
(jamu yang pahit saja aku minum, apalagi jamuanMu Ya Rabb)
*Sumber: http://nadirhosen.net/tsaqofah/filsafat/200-kisah-berikutnya-kiai-tua-dan-kiai-muda-3-jamuan-ilahi
Comments
Post a Comment