Cak Nun: Berpikir, Bersikap dan Bertindak NKRI

Yang saya maksud “puncak eskalasi pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan di panggung di mana “yang kuat mengalahkan yang lemah”. Seseorang mungkin akan menang di Pengadilan maupun di Pemilihan. Sebelum itu, faktor-faktor yang dianggap kontra-produktif terhadap kemenangan itu, mungkin akan dipastikan untuk dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau dikebiri, minimal dieliminir. 

Mungkin yang bisa terjadi adalah letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih mendalam untuk masa depan pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang muncul adalah: apa hebatnya bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia? Kalau dalam hidup ini memang harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, apakah itu juga berlaku untuk sesama bangsa Indonesia? Itukah makna nilai Bhinneka?
Kalau belajar dari filosofi Jawa: kegaduhan yang sekarang terjadi adalah “Sopo siro sopo ingsun” (siapa kamu siapa aku, emangnya kamu siapa!). Salah satu outputnya adalah “adigang adigung adiguna” (sok kamu ini, saya lindas!). Konstelasi dikotomisnya adalah “Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah “Putih melindas Hitam”. Persoalannya: masing-masing merasa, yakin, dan memiliki argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil, sehingga mendahului untuk memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas juga meyakini bahwa ia adalah “Habil yang dibunuh Qabil” dan “Putih yang diberangus oleh Hitam”. 

Mana Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil maupun Qabil adalah putra-putranya sendiri. Adam Hawa tidak berpikir bahwa Qabil adalah musuhnya, meskipun ia mengancam putranya yang lain. Yang mengancam dan diancam sama-sama anaknya. Adam Hawa mempelajari keduanya dengan sabar. Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang dipilih bukan membunuh Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil.
Positioning Adam” adalah berpikir dan bersikap NKRI. Kalau PDIP ada di latar belakang kekuasaan NKRI, maka diri PDIP adalah diri NKRI. PDIP mendayagunakan energinya untuk NKRI, bukan mengeksploitasi NKRI untuk PDIP. Siapapun saja yang duduk di Pemerintahan, dirinya adalah diri NKRI. Subjek primer di dalam kesadarannya adalah NKRI. Maka demikianlah pula berpikir dan bersikap, serta pengambilan keputusan tindakan-tindakannya. 

Bu Mega menghindari kosakata politik praktis. Tidak perlu menyebut kata “ideologi tertutup”, “makar”, cukup membatasi diri pada kata-kata kasih sayang, pengayoman, ekspresi keIbuan. Yang sedang mengemban amanat di Pemerintahan membersihkan hatinya dari paranoia merasa diancam, sehingga tidak menyimpulkan bahwa apa yang tidak sejalan dengan dia adalah musuh. Bahwa yang tidak sependapat adalah makar. Ia dan jajarannya dilantik untuk memprimerkan Bhinneka Tunggal Ika, bukan memelihara, mempertajam dan meraya-rayakan Bhinneka. Padahal tugasnya adalah mentunggal-ikakan Bhinneka. 

Muhammad Emha Ainun Najib

*Sumber: https://www.caknun.com/2017/bangsa-yatim-piatu/

Comments

Popular posts from this blog

Kata Mutiara Hikmah Kyai Sepuh NU Part.3

Lirik dan Makna Syair Lir-Ilir, Sunan Giri dan Sunan Kalijaga

Kata Mutiara Hikmah Kyai Sepuh Nahdhatul 'Ulama part. 1