Gus Mus: Adil Memang Sulit, Tapi Harus!
Sebagai
sikap dan laku, adil mungkin termasuk yang paling sulit. Soalnya karena
adil itu jejeg, tegak lurus, tidak condong dan tidak miring ke
sana-kemari. Sementara kita sebagai manusia, dari sononya memiliki
‘athifah atau emosi yang bawaannya mirang-miring kesana kemari.
ِApalagi
dalam dan di sekeliling kehidupan kita banyak faktor yang mempengaruhi
kita, yang mendorong kesana atau menarik kemari. Kita mencintai dan
senang, condong kemari; kita marah dan benci, miring kesana.
Hakim
yang sedang marah atau benci kepada seseorang, katakanlah si Fulan,
misalnya, jangan suruh ia mengadili si Fulan itu. Karena hampir
dipastikan si hakim tidak bisa berlaku adil dan jejeg. (Ingat kasus
hakim yang diberhentikan gara-gara memvonis maling arloji dengan hukuman
maksimal, lantaran gregetan; pasalnya yang dicuri si maling adalah
arloji beliau). Demikian pula bila seorang hakim –karena sesuatu hal--
sangat senang kepada si terdakwa, bisa ditebak putusannya akan tidak
adil.
Bagaimana pun sulitnya, kita semua tahu
bahwa bersikap dan berlaku adil adalah sangatlah penting dalam kehidupan
kita. Maraknya kasus-kasus mulai dari korupsi, main hakim sendiri,
perkelahian ‘antar pemain’, krisis kepercayaan, hingga tindak kekerasan
dan terorisme; misalnya, jika ditelusuri, sumbernya tidak lain adalah
ketidak-adilan. Itulah sebabnya –wallahu a’lam—Allah SWT dalam kitab
sucinya Al-Quran sering menegas-tekankan pentingnya bersikap dan berlaku
adil (lebih dari 30 ayat!). Bahkan perintah menegakkan kebenaran dan
bersaksi pun diberi catatan: harus dengan adil (Q. 4: 135; 5: 8). Bahkan
Allah wanti-wanti: “Walaa yajrimannakum syana-aanu qaumin anlaa
ta’diluu; i’diluu huwa aqrabu littaqwa…”(Q.5: 8) “Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum (menurut kebanyakan mufassir
‘kaum’ disini yang dimaksud adalah orang-orang kafir!) menyeretmu untuk
berlaku tidak adil; berlaku adillah! Itu lebih dekat kepada takwa…”
Pastilah
antara lain karena pentingnya sikap dan laku adil ini pula, konon sang
Khalifah Adil Umar ibn Abdul Aziz mentradisikan dalam akhir khotbah
Jum’at dibacanya ayat Q.16: 90. “InnaLlaha ya’muru bil’adli…”.
Berlaku
adil tentu tidak hanya dituntut dari pihak penguasa dan penegak hukum
saja, tapi juga dari kita semua, terutama yang merasa mendapat firman
dari Allah dan mempercayainya. Namun, seperti disinggung di atas,
bersikap dan berlaku adil memang hanya gampang diucapkan. Untuk
mempraktekkannya sangat sulit.
Sering kali kita menuntut
perlakuan adil dari pihak lain, namun sering kali juga kita tidak sadar
telah berlaku tidak adil terhadap pihak lain. Adil, jejeg, mengandung
pengertian objektif, i’tidaal, proporsional, tawaazun. Ketika ada
seorang oknum polisi yang doyan sogok, misalnya, lalu kita mengatakan
semua polisi doyan sogok. Ucapan kita ini jelas tidak benar dan tidak
adil. Sama dengan tidak benar dan tidak adilnya orang yang mengatakan
bahwa pesantren adalah sarang teroris, hanya karena ada oknum pengamat
yang menulis bahwa ada peran alumni pesantren dalam aksi terror dan
pernyataan oknum pejabat tinggi yang sembrono menyatakan bahwa aktifitas
pesantren harus diawasi.
Di mana-mana – di
negara, di bangsa, di kalangan umat beragama, bahkan di organisasi mana
pun—selalu ada orang atau kelompok yang buruk di samping yang baik-baik;
ada yang jahat di samping yang saleh-saleh; ada yang tolol di samping
yang berakal sehat. Di Indonesia -- negeri yang disebut-sebut tercatat
sebagai salah satu negara terkorup di dunia-- misalnya, meski ada Edy
Tanzil dan sekian ribu koruptor (yang konangan maupun yang tidak),
pastilah masih banyak orang-orang yang lurus sebagai mayoritas bangsa.
Sangat tidak adil bila dikatakan bangsa Indonesia adalah bangsa maling.
Apalagi yang dirugikan oleh –atau kasarnya: yang dimalingi-- para
koruptor itu justru mayoritas bangsa Indonesia sendiri. Sebagai bangsa
Indonesia, kita tentu tersinggung dan marah disebut bangsa maling.
Meskipun
ada beberapa orang Islam yang ngebom dan melakukan aksi terror, kita
sebagai umat Islam tentu tersinggung dan marah bila dikatakan bahwa
orang Islam tukang ngebom; apalagi dikatakan bahwa agama Islam adalah
agama kekerasan dan terror.
Analog dengan itu
saya kira sama dengan misalnya, melihat Amerika . Meski di negeri paman
Sam itu ada orang zalim bermuka dua yang bernama George W. Bush dan
sekian pemimpin pemerintahan bahkan juga sekian banyak rakyatnya yang
adigang-adiguna, adalah tidak adil apabila kita kemudian menafikan
adanya orang-orang lurus dan berakhlak --termasuk sekitar 5,5 juta warga
yang beragama Islam-- di Amerika; dan mengatakan secara gebyah uyah:
bangsa Amerika adalah bangsa yang jahat, kafir, dan zalim.
Demikian
pula di Denmark. Meski ada kartunis dan sekian redaktur tolol di harian
Jyllands-Posten yang mempublikasikan kartun Nabi Muhammad SAW yang
diagungkan umat Islam; adalah tidak adil jika kemudian kita mengecap
Denmark sebagai negara tolol dan bangsanya adalah bangsa tolol yang
memusuhi Islam. Dalam kaitan ini, adalah menarik apa yang ditulis
kolomnis Abdullah Bijad al’Utaiby di harian Ar-Riyadh. Tulisnya antara
lain: “Adalah hak kita untuk marah karena Rasul kita yang mulia
dilecehkan; dan adalah hak kita untuk mengungkapkan kemarahan kita
secara berbudaya seperti pemutusan hubungan perdagangan, namun jangan
sampai kemarahan itu berkembang ke arah kekerasan dan pembunuhan; jangan
sampai memberi peluang ‘orang-orang menyusupkan racun dalam makanan’.
Tujuan kita harus jelas. Bukan marah sekedar marah.”
Benar
kan, adil itu sulit? Tapi sangat penting dan harus. Karena itulah kita
dianjurkan untuk saling menasehati, saling beramar-makruf-nahi-munkar,
dan saling membantu dalam kebajikan, termasuk membiasakan memandang
sesuatu tidak hanya secara ‘hitam-putih’ dan membiasakan berlaku adil.
Wallahu a’lam
*Sumber: http://gusmus.net/mata-air/adil-memang-sulit-tapi-harus
Comments
Post a Comment